Cerita WNI Disiksa Saat Bekerja di Pusat Judol Kamboja, Seolah “Hidup di Neraka”

Admin Utama

July 29, 2025

7
Min Read

Dijanjikan Gaji Gede, Berakhir Disiksa & Dilecehkan: Kisah Pilu Perempuan Indonesia di Neraka Judi Online Kamboja!

Bayangkan ini: sebuah tawaran pekerjaan menggiurkan dengan ‘gaji gede’ di Bali, tapi yang didapat justru neraka di negeri orang. Kisah ini bukan fiksi, melainkan kenyataan pahit yang dialami Ita—bukan nama sebenarnya—dan ribuan perempuan Indonesia lainnya. Mereka dijebak, paspor ditahan, dan yang lebih mengerikan lagi, disiksa secara fisik, bahkan dilecehkan secara seksual, di pusat-pusat judi daring di Kamboja. Ini adalah peringatan keras bagi kita semua tentang bahaya sindikat perdagangan orang yang mengintai.

“Mereka benar-benar satu bulan penuh menyiksa saya, dari pelecehan sampai pukulan,” cerita Ita, yang bekerja di pusat judi daring Kamboja dari Desember 2023 hingga Agustus 2024. Kekerasan brutal ini terjadi karena Ita tidak memenuhi target sebagai admin judi. Tak hanya itu, para pelaku bahkan merekam aksi keji mereka dan mengancam akan menyebarkannya jika Ita berani buka suara. Sayangnya, Ita tidak sendirian. Ia mengklaim banyak perempuan lain mengalami nasib serupa.

Data Kementerian Luar Negeri Indonesia sangat mengkhawatirkan: mayoritas kasus WNI yang terjerat sindikat judi dan penipuan online, sekitar 4.300 dari total 7.628 kasus, terjadi di Kamboja antara 2021 hingga Maret 2025. Myanmar menyusul di posisi kedua dengan 1.187 kasus. Bahkan, dari 699 WNI yang dipulangkan dari Myanmar pada Februari-Maret 2025, sepuluh di antaranya mengaku mengalami kekerasan fisik dan seksual. Ini jelas menunjukkan skala masalah yang sangat serius.

Cerita Pilu Ita: Dari Janji Manis ke Jerat Judi Online

Petualangan pahit Ita dimulai setelah lulus SMA. Ia ditawari pekerjaan “keuangan” dengan gaji menggiurkan dari mantan kakak kelasnya, yang belakangan diketahui sebagai perekrut jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja. Ita dijanjikan gaji sekitar Rp 4 juta di Bali, sedikit di bawah UMP Jakarta. Tanpa tahu detail pekerjaan, ia mengirimkan dokumen pribadi dan dibuatkan paspor.

Namun, alih-alih ke Bali, Ita justru dibelikan tiket ke Malaysia, dan dari sana, tanpa bertemu siapa pun, ia dikirimi tiket lagi menuju Phnom Penh, ibu kota Kamboja, kota yang asing baginya. “Aduh gimana nih? Saya pulang enggak bisa, [tapi kalau] saya maju lagi, saya takut,” kenangnya. Setibanya di sana, paspornya langsung ditahan oleh kakak kelasnya yang kini menjelaskan pekerjaan aslinya: “Jadi gini, kamu tuh jadi admin judi.”

Ita terkejut dan merasa dijebak. Ia tak bisa berkutik, paspornya sudah di tangan perusahaan. Mau tak mau, ia bekerja sebagai admin judi, dari jam 8 pagi sampai 8 malam. Awalnya, hidupnya masih “normal” dengan gaji, bonus, dan bisa berkomunikasi dengan keluarga. Namun, semua berubah saat tempat kerjanya digerebek. Ita ditawari dua pilihan: “dijual” ke perusahaan judi lain atau pulang dengan biaya Rp 32 juta dan tiket sendiri. Bosnya lepas tangan.

Setelah dua minggu terkatung-katung, Ita terpaksa pindah ke “pusat” judi lain. Bulan pertama berjalan mulus. Tapi di bulan berikutnya, Ita gagal mencapai target. Ia langsung “dikurung” di gudang gelap, hanya diberi makan dua hari sekali, dan gajinya dipotong. Ini adalah awal nerakanya. “Kalau mereka capek bekerja, mereka selalu melampiaskan sama orang yang ada di gudang. Sebulan itu, kan, cuma saya doang [di gudang], jadi bulan Maret itu cuma saya yang dipukul sama mereka.” Tak hanya fisik, kekerasan seksual pun ia alami. Para pelaku merekam aksi keji mereka sebagai ancaman. Sebulan penuh ia hidup dalam ketakutan.

Setelah dibebaskan dari kurungan, Ita diancam untuk tidak buka suara. “Kamu enggak boleh bilang ini ke orang-orang atau video ini bakal tersebar.” Ketakutan akan dikurung lagi membuatnya mati-matian mengejar target. Setiap kesalahan, meski sekecil salah memasukkan deposit, berujung tamparan keras. Bahkan, perempuan yang sedang haid pun tak boleh mengeluh; mulut mereka akan dilakban. Di “pusat” ini, Ita bekerja dari jam 12 siang hingga 12 malam, ponselnya ditahan dan hanya bisa digunakan sebentar di malam hari. Tugasnya: merayu calon pemain judi, dan yang paling memilukan, melayani pesan-pesan cabul dari para “member”. Bahkan akun media sosial yang mereka pakai untuk promosi juga berisi konten dewasa. Semua ini dilakukan demi menghindari penyiksaan.

Kisah Nisa dan Relasi Kuasa yang Menjerat

Nisa—juga bukan nama sebenarnya—mengalami hal serupa di pusat penipuan online Kamboja. Ia menyaksikan sendiri bagaimana para perempuan berjuang demi keselamatan mereka. “Ada korban yang sudah bersedia tidur dengan atasannya. Dia mau karena dijanjikan tidak akan dijual ke tempat lain. Tapi ternyata ujung-ujungnya dia dijual juga,” ungkap Nisa. Ia sendiri nyaris menjadi korban kekerasan seksual oleh sesama WNI, beruntung ada teman yang menolong.

Banyak korban perempuan tidak berani melapor karena pelakunya sering kali sesama orang Indonesia yang sudah menjadi atasan. “Kalaupun mengadu juga percuma, karena sesama orang Indonesia yang senasib pun juga takut dan akhirnya masing-masing jadi memikirkan diri sendiri,” jelas Nisa.

Nisa terjebak setelah ditawari pekerjaan oleh teman lama via Facebook. Baru bercerai dan merasa kehilangan arah, ia menerima tawaran pekerjaan yang membutuhkan tiga perempuan itu. Paspornya diambil di perjalanan menuju Kamboja. Setibanya di sana, ia melihat kantor yang mirip penjara dengan tembok tinggi, kawat berduri, dan penjaga bersenjata listrik kejut. Dipaksa menandatangani kontrak satu tahun dengan denda besar, Nisa menyadari ia ditipu. Ponselnya disita, dan ia dipaksa menghafal naskah penipuan. Sebuah insiden pemukulan brutal terhadap rekan yang berontak membuat semua orang ketakutan. Modus penipuannya: berpura-pura menjadi customer service perusahaan telekomunikasi, lalu memperdaya korban agar merasa punya utang besar.

Eksploitasi Berlapis dan Tantangan Penegakan Hukum

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM, menegaskan bahwa perempuan Indonesia yang menjadi korban di pusat judi dan penipuan online mengalami eksploitasi berlapis: fisik, ekonomi, dan yang paling menyakitkan, seksual. Benang merahnya adalah relasi kuasa, di mana pelaku memanfaatkan posisi dominan mereka untuk mengancam dan memanipulasi korban.

Beberapa faktor membuat perempuan sangat rentan:

  • Stereotip gender: Perempuan masih dianggap lemah dan mudah ditipu, pandangan yang tidak adil dan memposisikan mereka rentan.
  • Perlindungan hukum belum optimal: Meski UU TPKS ada, penegakan hukum kasus kekerasan seksual terkait TPPO masih belum efektif melindungi korban.
  • Budaya patriarki: Budaya kuat ini di Indonesia dan negara tetangga menempatkan perempuan sebagai objek kejahatan.
  • Faktor internal korban: Kondisi seperti perceraian, korban KDRT, putus sekolah, atau kesulitan ekonomi, membuat mereka mudah terjerat penipuan.

Proses penegakan hukum pun seringkali lambat, banyak kasus terhenti di penyelidikan. Pengamat hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, menambahkan bahwa eksploitasi seksual bukan hanya kepentingan finansial, tapi juga alat intimidasi. “Orang yang sudah mengalami kekerasan seksual cenderung merasa trauma dan merasa tidak diterima masyarakat, sehingga mereka berada di lingkaran setan yang di situ-situ saja,” ujarnya.

Dinna juga menyoroti perlindungan WNI di luar negeri, khususnya perempuan, masih jauh dari memadai, bahkan sejak tahap keberangkatan. Banyak pekerja migran, terutama dari desa, kesulitan mengurus dokumen sah dan akhirnya terjerat agen bermasalah. Data WNI di luar negeri pun lebih berdasarkan pelaporan, padahal persentase orang yang melapor sangat kecil.

Mendorong Korban Bersuara: Peran Penting Pemerintah

Kementerian Luar Negeri mencatat dari 699 WNI yang dipulangkan pada Februari-Maret 2025, 10 orang mengaku mengalami kekerasan fisik dan seksual. Tiga di antaranya pelecehan fisik, tujuh verbal. Salah satu korban pelecehan fisik menyebut manajer tempat kerjanya sebagai pelaku.

Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, menjelaskan bahwa penegakan hukum sangat bergantung pada pengaduan korban. Jika korban sudah di Indonesia, mereka disarankan melapor ke kepolisian. Namun, tantangan terbesar adalah korban enggan melapor karena pelakunya seringkali orang terdekat yang terlibat sindikat. Padahal, peran korban krusial untuk memberantas TPPO. Untuk mengatasi ketakutan dan ancaman, pemerintah telah menjalin kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kemlu juga akan berkoordinasi dengan otoritas setempat jika pelaku adalah WNI di luar negeri.

Meski pemerintah sangat mendorong korban untuk berani melapor dan bersedia menjadi saksi, kenyataannya sulit bagi perempuan, apalagi yang sudah mengalami kekerasan seksual, untuk membuka diri.

Bagi Ita, yang meminta identitasnya dirahasiakan, ia akhirnya memutuskan buka suara agar tidak ada lagi korban seperti dirinya. “Saya tidak mau ada orang lain yang mengalami kejadian seperti ini. Di sana itu sudah seperti neraka. Orang-orangnya iblis,” pungkasnya.

Kisah Ita dan Nisa adalah potret kelam dari sindikat TPPO yang terus mengintai. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk lebih peduli, lebih waspada, dan lebih berani menyuarakan kebenaran. Jangan biarkan neraka ini terus menelan korban-korban tak bersalah.

Bagikan artikel ini agar lebih banyak orang tahu tentang bahaya ini. Apa pendapat Anda tentang upaya pencegahan dan penanganan kasus TPPO ini? Yuk, diskusikan di kolom komentar!

Leave a Comment

Related Post