
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump baru saja menyepakati perjanjian dagang baru dengan Indonesia. Namun, ada satu poin yang mengejutkan publik: permintaan agar data pribadi warga negara Indonesia dapat diproses di bawah yurisdiksi Amerika.
Isu ini muncul dari dokumen resmi Gedung Putih yang menyebut istilah “personal data” — data yang secara umum mencakup data identitas, data biometrik, lokasi, hingga riwayat transaksi digital. Tidak dijelaskan secara rinci data mana yang dimaksud, tetapi cakupannya sangat luas.
Pemerintah Indonesia segera memberikan klarifikasi. Menurut Kemenko Perekonomian, yang dimaksud adalah “data komersial”, seperti statistik transaksi dan data agregat pasar, bukan data personal individu seperti nama atau NIK. Namun tetap saja, penggunaan istilah “personal data” di dokumen resmi AS memunculkan pertanyaan: data mana yang sebenarnya akan diakses?
Untuk Apa Trump Minta Data WNI?
Permintaan ini bukan tanpa alasan. Perusahaan teknologi AS seperti Google, Meta, dan Amazon selama ini mengeluhkan aturan data lokal Indonesia yang dianggap menghambat bisnis mereka. Dengan kesepakatan ini, mereka berharap dapat menganalisis perilaku pengguna Indonesia secara lebih presisi, menyempurnakan algoritma dan layanan digital mereka, serta mempercepat ekspansi bisnis di Asia Tenggara.
Bagi Trump, ini adalah bagian dari strategi besar: memperkuat dominasi ekonomi digital Amerika dan mendikte standar global mengenai arus data lintas negara.
Respons Pemerintah: Defensif tapi Belum Menjawab
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa semua aturan tetap mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP), dan bahwa data personal tetap aman. Presiden Prabowo menyebut bahwa negosiasinya belum final.
Namun, banyak pihak menilai sikap pemerintah terlalu defensif dan minim transparansi. Bahkan DPR menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam proses ini. Sejumlah LSM seperti SAFEnet dan ICSF menilai kesepakatan ini berpotensi melanggar prinsip kedaulatan data.
Risiko Nyata di Depan Mata
Pengelolaan data WNI di luar yurisdiksi Indonesia membuat pengawasan terhadap data tersebut menjadi sulit. Hal ini terjadi karena data tidak lagi tunduk pada sistem hukum dan pengawasan nasional, sehingga negara kehilangan kendali atas informasi warganya sendiri. Kondisi ini menimbulkan risiko besar terhadap kedaulatan dan perlindungan data masyarakat Indonesia.
Privasi masyarakat juga dapat terganggu apabila data mereka digunakan untuk kepentingan komersial seperti iklan atau analitik oleh pihak asing tanpa persetujuan eksplisit. Dalam sistem yang tidak transparan, data pengguna bisa dimanfaatkan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Lebih dari itu, terdapat potensi penyalahgunaan data pejabat, aparat, atau elite politik Indonesia. Informasi seperti ini dapat digunakan untuk kepentingan geopolitik oleh negara lain, termasuk kegiatan intelijen atau tekanan politik terselubung.
Keberadaan perjanjian ini juga bisa melemahkan daya saing industri pusat data lokal. Perusahaan global akan lebih memilih menyimpan data di negara mereka sendiri yang memiliki regulasi lebih longgar, sehingga pelaku industri dalam negeri kehilangan peluang investasi dan ekspansi.
Lebih berbahaya lagi, kesepakatan ini bisa menjadi preseden: negara lain dapat menuntut perlakuan yang sama di masa depan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pemerintah harus segera menjelaskan isi lengkap perjanjian ini kepada publik. Batasan mengenai jenis data apa yang boleh ditransfer harus tegas dan tertulis. DPR perlu dilibatkan, dan Otoritas PDP yang independen harus segera dibentuk untuk mengawasi implementasinya.
Data pribadi bukan barang dagangan. Ia merupakan bagian dari hak asasi manusia. Menyerahkannya ke negara lain, bahkan dalam bungkus kerja sama ekonomi, tetap harus melewati pengawasan publik yang ketat.
Jika tidak berhati-hati, kita bisa kehilangan kendali atas identitas digital warga sendiri—dan ketika itu terjadi, tidak ada jaminan bahwa kepentingan nasional akan tetap utuh.









Leave a Comment