Teka-teki kenaikan kasus kanker paru-paru pada orang-orang bukan perokok

Admin Utama

July 14, 2025

10
Min Read

Jumlah kasus kanker paru-paru pada orang-orang yang tidak pernah merokok terus meningkat. Penyakit ini berbeda dengan kanker paru-paru yang disebabkan oleh merokok. Jadi, apa penyebabnya?

Martha pertama kali menyadari ada yang tidak beres pada paru-parunya ketika batuknya berubah dan lendir di saluran pernapasannya menjadi semakin kental.

Dokter mendiagnosisnya menderita gangguan langka yang menyebabkan paru-parunya mengalami peradangan kronis.

“Jangan khawatir, pasti itu penyebabnya,” kata dokternya.

Ketika akhirnya dia menjalani rontgen, sebuah bayangan terdeteksi di paru-parunya.

“Itu memicu semuanya,” kenang Martha.

“Pertama, dilakukan CT scan, lalu bronkoskopi [prosedur yang melibatkan penggunaan tabung panjang untuk memeriksa saluran pernapasan di paru-paru] untuk mengambil sampel jaringan.”

Setelah tumor diangkat, sekitar empat bulan setelah dia pertama kali melaporkan gejala kepada dokter umum, dia menerima diagnosis: kanker paru-paru stadium IIIA.

Tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening di sekitarnya tetapi belum menyebar ke organ lain. Saat itu Martha berusia 59 tahun.

“Itu benar-benar mengejutkan,” kata Martha.

Meskipun dia kadang-kadang merokok di pesta, dia tidak pernah menganggap dirinya sebagai perokok.

Kanker paru-paru adalah kanker paling umum di dunia dan penyebab utama kematian akibat kanker.

Pada 2022, sekitar 2,5 juta orang didiagnosis menderita penyakit ini dan lebih dari 1,8 juta orang meninggal.

Meskipun kanker paru-paru yang terkait dengan tembakau masih mendominasi diagnosis di seluruh dunia, tingkat merokok telah menurun selama beberapa dekade.

Seiring dengan terus menurunnya jumlah perokok di banyak negara di dunia, proporsi kanker paru-paru yang terjadi pada orang yang tidak pernah merokok semakin meningkat.

Kini, sekitar 10% hingga 20% diagnosis kanker paru-paru terjadi pada individu yang tidak pernah merokok.

“Kanker paru-paru pada orang yang tidak pernah merokok muncul sebagai entitas penyakit terpisah dengan karakteristik molekuler yang berbeda, yang secara langsung memengaruhi keputusan pengobatan dan hasilnya,” kata Andreas Wicki, onkolog di Rumah Sakit Universitas Zurich, Swiss.

Meskipun usia rata-rata saat diagnosis serupa dengan kanker paru-paru yang terkait dengan merokok, pasien kanker paru-paru yang lebih muda lebih mungkin tidak pernah merokok.

“Ketika kami melihat pasien berusia 30 atau 35 tahun dengan kanker paru-paru, mereka biasanya tidak pernah merokok,” katanya.

Perbedaan lain adalah jenis kanker yang didiagnosis.

Hingga 1950-an dan 1960-an, bentuk kanker paru-paru yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa—jenis yang bermula dari sel-sel yang melapisi paru-paru.

Sebaliknya, kanker paru-paru pada orang yang tidak pernah merokok hampir secara eksklusif adalah adenokarsinoma—jenis yang bermula dari sel-sel yang memproduksi lendir—yang kini menjadi jenis paling umum dari kanker paru-paru baik pada perokok maupun nonperokok.

Seperti bentuk kanker paru-paru lainnya, adenokarsinoma biasanya didiagnosis pada stadium lanjut.

“Jika ada tumor berukuran 1 cm tersembunyi di paru-paru Anda, Anda tidak akan merasakannya,” kata Wicki.

Gejala awal, yang meliputi batuk persisten, nyeri dada, sesak napas, atau mengi, seringkali baru muncul ketika tumor sudah besar atau menyebar.

Selain itu, hubungan yang kuat antara merokok dan kanker paru-paru secara historis dapat secara tidak sengaja membuat nonperokok mengaitkan gejala-gejala tersebut dengan penyebab lain, kata Wicki.

“Sebagian besar kasus pada nonperokok baru didiagnosis pada stadium 3 atau 4.”

Kanker paru-paru pada perempuan

Kanker paru-paru pada orang yang tidak pernah merokok juga lebih umum terjadi pada perempuan.

Perempuan yang tidak pernah merokok memiliki risiko lebih dari dua kali lipat untuk mengembangkan kanker paru-paru dibandingkan pria yang tidak pernah merokok.

Selain anatomi paru-paru dan paparan lingkungan, setidaknya sebagian jawaban mungkin terletak pada mutasi genetik yang lebih umum terjadi pada perempuan, terutama pada perempuan Asia.

Salah satu yang paling umum adalah mutasi yang dikenal sebagai EGFR.

Sel kanker paru-paru pada orang yang tidak pernah merokok biasanya memiliki sejumlah mutasi yang mungkin menjadi penyebab kanker mereka, jelas Wicki—yang disebut mutasi pengemudi.

Mutasi genetik ini mendorong pertumbuhan tumor, seperti gen EGFR yang mengkode protein di permukaan sel dan disebut reseptor faktor pertumbuhan epidermal.

Alasan mengapa mutasi pengemudi ini lebih sering ditemukan pada pasien perempuan, terutama yang berketurunan Asia, belum sepenuhnya dipahami.

Ada beberapa bukti bahwa hormon perempuan mungkin berperan, dengan varian genetik tertentu yang memengaruhi metabolisme estrogen lebih umum ditemukan pada orang Asia Timur.

Hal ini berpotensi menjelaskan insiden kanker paru-paru dengan mutasi EGFR yang lebih tinggi pada perempuan Asia, meskipun data masih sangat awal.

Setelah penemuan mutasi yang dapat menyebabkan kanker paru-paru pada nonperokok, industri farmasi mulai mengembangkan obat yang secara spesifik menghambat aktivitas protein tersebut.

Misalnya, inhibitor EGFR pertama tersedia sekitar 20 tahun yang lalu dan sebagian besar pasien menunjukkan respons yang mengesankan.

Namun, pengobatan seringkali menyebabkan sel kanker yang resisten, yang mengakibatkan kambuhnya tumor.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, dengan jenis obat baru kini memasuki pasar.

Akibatnya, prognosis untuk pasien telah terus membaik.

“Angka kelangsungan hidup median pasien yang memiliki mutasi pengemudi tersebut kini mencapai beberapa tahun,” jelas Wicki.

“Kami memiliki pasien yang telah menjalani terapi target selama lebih dari 10 tahun. Ini merupakan langkah besar ke depan jika dibandingkan dengan angka kelangsungan hidup median yang kurang dari 12 bulan sekitar 20 tahun yang lalu.”

Seiring meningkatnya proporsi kanker paru-paru pada nonperokok, para ahli mengatakan bahwa pengembangan strategi pencegahan untuk populasi ini sangat penting.

Sejumlah faktor risiko telah diidentifikasi. Misalnya, studi menunjukkan bahwa radon (gas radioaktif alami yang tidak berwarna dan tidak berbau) dan asap rokok pasif dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru pada nonperokok.

Selain itu, paparan asap memasak atau kompor yang membakar kayu atau arang di ruangan yang kurang ventilasi juga dapat meningkatkan risiko ini.

Karena perempuan secara tradisional menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan, mereka lebih rentan terhadap polusi udara dalam ruangan ini.

Namun, polusi udara luar ruangan merupakan faktor yang lebih signifikan dalam perkembangan kanker paru-paru.

Sebenarnya, polusi udara luar ruangan merupakan penyebab utama kedua dari semua kasus kanker paru-paru setelah merokok.

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang tinggal di daerah dengan polusi udara tinggi lebih berisiko meninggal akibat kanker paru-paru dibandingkan mereka yang tidak.

Partikel halus berukuran kurang dari 2,5 mikron (sekitar sepertiga lebar rambut manusia), yang umumnya terdapat dalam emisi kendaraan dan asap bahan bakar fosil, tampaknya memainkan peran penting.

Dan menariknya, penelitian telah menunjukkan hubungan yang kuat antara tingkat PM2.5 yang tinggi dan kanker paru-paru pada individu yang tidak pernah merokok dan memiliki mutasi EGFR.

Bagaimana polusi udara dapat memicu kanker paru-paru pada orang yang tidak pernah merokok dan memiliki mutasi EGFR menjadi fokus penelitian di Francis Crick Institute di London.

“Ketika kita memikirkan karsinogen lingkungan, kita biasanya memikirkan mereka sebagai penyebab mutasi DNA,” kata William Hill, peneliti pascadoktoral di laboratorium evolusi kanker dan ketidakstabilan genom di Francis Crick Institute.

Asap rokok, misalnya, merusak DNA kita, sehingga menyebabkan kanker paru-paru.

“Namun, studi kami [2023] mengusulkan bahwa PM2.5 tidak secara langsung memutasi DNA, melainkan membangunkan sel-sel mutan yang dormant—tidak tumbuh tapi bisa aktif—di paru-paru dan memicu tahap awal kanker paru-paru.”

Dalam eksperimen mereka, para peneliti menunjukkan bahwa polutan udara diserap oleh sel-sel kekebalan yang disebut makrofag. Sel-sel ini biasanya melindungi paru-paru dengan menelan organisme infeksius.

Sebagai respons terhadap paparan PM2.5, makrofag melepaskan pesan kimia yang disebut sitokin, yang mengaktifkan sel-sel yang membawa mutasi EGFR dan menyebabkan mereka berkembang biak.

“Baik polusi udara maupun mutasi EGFR diperlukan agar tumor dapat tumbuh,” kata Hill.

Memahami bagaimana PM2.5 berinteraksi dengan mikrolingkungan sel yang membawa mutasi EGFR untuk mempromosikan pertumbuhan tumor, tambahnya, dapat membuka jalan bagi pendekatan baru dalam pencegahan kanker paru-paru.

Hubungan polusi udara dan kanker paru-paru

Hubungan antara polusi udara dan kanker paru-paru bukanlah hal baru.

Dalam sebuah studi pionir yang menghubungkan merokok dengan kanker paru-paru pada 1950, para penulis menyarankan polutan luar ruangan dari pembakaran bahan bakar fosil sebagai penyebab potensial.

Namun, kebijakan hingga saat ini hampir sepenuhnya berfokus pada pengendalian tembakau.

75 tahun kemudian, polusi udara akhirnya menjadi sorotan.

Level polusi udara di Eropa dan Amerika Serikat telah menurun dalam beberapa dekade terakhir.

Tapi, dampak perubahan tersebut terhadap tingkat kanker paru-paru belum terlihat secara jelas.

“Mungkin dibutuhkan 15 hingga 20 tahun agar perubahan dalam paparan polusi udara tercermin dalam tingkat kanker paru-paru, tetapi kami belum tahu pasti,” kata Christine Berg, seorang onkolog pensiunan dari National Cancer Institute di Maryland, AS.

Selain itu, gambaran ini tidak statis: perubahan iklim kemungkinan akan berdampak di masa depan.

“Dengan meningkatnya risiko kebakaran hutan, polusi udara dan tingkat PM2.5 kembali meningkat di beberapa wilayah AS,” kata Berg.

“Setidaknya satu studi telah menunjukkan hubungan antara paparan kebakaran hutan dan peningkatan insiden kanker paru-paru.”

“Transisi dari batu bara, minyak, dan gas sangat penting tidak hanya untuk memperlambat pemanasan global tetapi juga untuk meningkatkan kualitas udara.”

Pada 2021, WHO memangkas pedoman kualitas udara tahunan rata-rata untuk PM2.5. Artinya, mereka telah mengadopsi pendekatan yang lebih ketat terhadap partikel halus.

“Namun, 99% populasi dunia tinggal di daerah di mana tingkat polusi udara melebihi batas pedoman WHO yang diperbarui ini,” kata Ganfeng Luo, peneliti pasca-doktoral di Badan Riset Kanker Internasional (IARC) di Lyon, Prancis.

Dalam sebuah studi terbaru, peneliti IARC memperkirakan bahwa sekitar 194.000 kasus adenokarsinoma paru-paru di seluruh dunia disebabkan oleh PM2.5 pada 2022.

“Beban tertinggi diperkirakan terjadi di Asia Timur, terutama di China,” kata Luo.

Di masa depan, jumlah kematian akibat kanker paru-paru yang disebabkan oleh polusi udara dapat meningkat di negara-negara seperti India, yang saat ini memiliki tingkat polusi udara tertinggi di dunia, menurut WHO.

Di Delhi, rata-rata tingkat PM2.5 melebihi 100 mikrogram per meter persegi, yang 20 kali lipat di atas pedoman kualitas udara WHO.

Di Inggris, 1.100 orang didiagnosis menderita adenokarsinoma paru akibat polusi udara pada 2022, menurut studi IARC.

“Namun, tidak semua kasus ini terjadi pada orang yang tidak pernah merokok,” kata Harriet Rumgay, seorang epidemiolog dan salah satu penulis studi tersebut.

Adenokarsinoma juga terjadi pada perokok, terutama yang menggunakan rokok berfilter.

“Masih banyak yang belum kita ketahui,” kata Rumgay.

“Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berbeda dan juga untuk memahami, misalnya, berapa lama seseorang harus terpapar polusi udara sebelum mengembangkan kanker paru-paru.”

Seiring dengan kemajuan pengobatan, kanker paru-paru pada orang yang tidak pernah merokok menjadi lebih dapat disembuhkan.

Bisa jadi suatu hari nanti jenis kanker paru-paru ini akan menjadi bentuk paling umum dari penyakit yang secara historis dikaitkan dengan perokok pria lanjut usia, mengubah cara kita memandang penyakit ini dalam budaya populer.

“[…] anggapan bahwa mereka [pasien] setidaknya sebagian bertanggung jawab atas penyakit mereka sayangnya masih luas,” kata Wicki.

Martha didiagnosis memiliki mutasi EGFR dan telah mengonsumsi inhibitor sejak diagnosisnya hampir tiga tahun lalu.

“Ini jelas bukan pil vitamin,” katanya.

Obat ini memiliki beberapa efek samping yang tidak menyenangkan: kelelahan kronis, nyeri otot, dan masalah kulit.

Menyeimbangkan risiko dan manfaat pengobatan obat serta mempertahankan kualitas hidup yang wajar tidak selalu mudah, katanya.

Namun, obat ini bekerja.

“Dan pandangan fatalis tentang penyakit ini sedang berubah, dan itu baik.”

Versi bahasa Inggris dari artikel ini, The mystery rise of lung cancer in non-smokers, bisa Anda simak di laman BBC Future.

Baca juga:

  • Indonesia masuk ‘enam negara paling berkontribusi terhadap polusi udara global’, warga akan gugat pemerintah dan industri
  • Polusi udara picu tren pubertas dini dan menstruasi lebih awal pada anak perempuan
  • ‘Matahari seperti ada tujuh saja!’ – Bagaimana cuaca panas berdampak terhadap masyarakat miskin?

Baca juga:

  • Terobosan baru pengobatan kanker kurang dari satu detik, bagaimana cara kerjanya?
  • Paru-paru ‘secara ajaib’ menyembuhkan kerusakan akibat merokok
  • Makin banyak anak muda mengidap kanker – Apa penyebab dan gejalanya?
  • Kabut di sekitar Jakarta – Anomali cuaca atau polusi udara?
  • Enam anak dan remaja gugat 32 negara terkait perubahan iklim – ‘Kebakaran hutan membuat saya sangat cemas tentang masa depan’
  • ‘Saya kasihan pada putri saya’ – Warga Thailand keluhkan kabut polusi kuning yang semakin tebal

Leave a Comment

Related Post