Skandal BRI: Eks Wadirut Terima 2 Kuda Mewah dari Vendor Proyek EDC?

Admin Utama

July 10, 2025

4
Min Read

Sains Indonesia – , Jakarta – Geger! Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggebrak dengan menetapkan mantan Wakil Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Catur Budi Harto, sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC). Bukan hanya soal uang ratusan juta, tapi ‘hadiah’ yang diterimanya bikin tercengang: sepeda dan dua ekor kuda beneran! Ya, kuda tunggangan, bukan kuda mesin yang kita kenal.

“Dua ekor kuda ini beneran, bukan kuda kendaraan mobil,” tegas Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu, 9 Juli 2025. Total nilai gratifikasi yang diduga diterima Catur Budi Harto dari vendor proyek ini mencapai Rp 525 juta. Ini bukan sekadar suap biasa, melainkan modus yang terencana rapi.

Menurut Asep, Catur menerima ‘kado istimewa’ ini dari Elvizar, Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi. Keduanya diketahui berulang kali menggelar pertemuan pada tahun 2019, jauh sebelum proyek pengadaan EDC ini resmi dimulai. Dari pertemuan ‘rahasia’ itulah, muncul kesepakatan bahwa Elvizar dan perusahaannya akan menjadi vendor utama, menggandeng PT Bringin Inti Teknologi yang dipimpin oleh Rudy Suprayudi Kartadidjaja selaku Direktur Utama. Elvizar ‘membawa’ merek EDC Sunmi P1 4G, sementara Rudy ‘mengunggulkan’ merek Verifone. “Ini yang tidak boleh, ketemu dengan calon penyedia barang. Seharusnya melalui proses lelang,” kata Asep, menyoroti praktik lancung ini.

Parahnya, Indra Utoyo yang saat itu menjabat Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI, diduga ikut bermain. Ia memerintahkan Wakil Kepala Divisi Perencanaan, Danar Widyantoro, dan Wakil Kepala Divisi Pengembangan, Fajar Ujian, untuk melakukan uji kelayakan teknis atau proof of concept (POC) terhadap dua jenis EDC Android: Sunmi P1 4G dari Elvizar, serta Verifone dari PT BRI IT. Tujuannya cuma satu, memastikan kompatibilitas dengan sistem BRILink Mobile.

Kecurangan semakin jelas terlihat saat uji POC digelar. Hanya dua merek tersebut yang diuji, meskipun ada vendor lain yang menawarkan produk EDC Android seperti Nira, Ingenico, dan Pax. Proses POC ini pun tidak diumumkan secara terbuka ke publik, sehingga vendor-vendor lain tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam pengujian. Sebuah praktik yang terang-terangan mengunci persaingan sehat!

Tidak berhenti sampai di situ, atas permintaan Elvizar, Catur kemudian memerintahkan Dedi Sunardi, yang menjabat sebagai SEVP Manajemen Aset dan Pengadaan BRI, untuk bertemu dengan Elvizar dan Rudy. Pertemuan ‘terselubung’ itu punya misi khusus: mengubah TOR Annex II, atau lampiran kedua dari dokumen terms of reference dalam proses pengadaan. Tujuannya, menambahkan syarat uji teknis maksimal 1 hingga 2 bulan. Ketentuan ini diduga kuat sengaja dibuat untuk mengunci spesifikasi teknis yang hanya menguntungkan PT Pasifik Cipta Solusi dan PT Bringin Inti Teknologi.

Praktik culas lainnya? Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tidak didasarkan pada harga dari prinsipal atau produsen EDC sesungguhnya. Melainkan, HPS berasal dari informasi harga yang diberikan oleh vendor yang telah diarahkan untuk memenangkan pengadaan, yaitu perusahaan milik Elvizar dan Rudy. Sudah jelas ini bukan lelang, tapi ‘lelang sandiwara’!

Akhirnya, pada 4 November 2020, hasil pengadaan Full Managed Service EDC Single Acquirer atau skema sewa diumumkan. Pemenangnya, sesuai ‘skenario’, adalah PT Bringin Inti Teknologi, PT Pasifik Cipta Solusi, dan PT Prima Vista Solusi. Sebuah konspirasi yang mulus, tapi akhirnya terbongkar oleh KPK.

Total, KPK telah menetapkan 5 orang tersangka dalam kasus korupsi pengadaan EDC BRI ini. Selain mantan Wakil Direktur Utama BRI, Catur Budi Harto, empat tersangka lain adalah Indra Utoyo (Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI), Dedi Sunardi (SEVP Manajemen Aset dan Pengadaan BRI), Elvizar (Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi), serta Rudy Suprayudi Kartadidjaja (Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi).

Asep menyatakan bahwa seluruh perbuatan busuk ini diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3, serta Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, pelanggaran ini juga dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kasus korupsi pengadaan mesin EDC BRI ini menjadi pengingat keras bahwa praktik ‘main mata’ demi keuntungan pribadi masih merajalela, bahkan di institusi vital negara. Penetapan lima tersangka, termasuk para petinggi bank dan vendor, adalah bukti nyata komitmen KPK memberantas ‘mafia’ proyek. Ini bukan hanya tentang uang, tapi tentang kepercayaan publik terhadap sistem. Bagaimana menurut Anda, apakah kasus ini akan memberikan efek jera? Mari diskusikan dan sebarkan informasi ini agar keadilan dapat ditegakkan!

Leave a Comment

Related Post