Pulau Padar Dijual? Ratusan Vila Dibangun, Warga Meradang!

Admin Utama

August 5, 2025

4
Min Read

Pulau Komodo Terancam? Ratusan Vila Dibangun, Warga Lokal Menjerit!

Pulau Padar, ikon Taman Nasional Komodo yang mendunia, kini tengah menjadi sorotan. Bukan karena keindahannya, tapi karena rencana pembangunan 448 vila yang mengancam kelestarian alam dan mata pencaharian warga sekitar. Apakah ini “proyek wisata premium” atau justru mimpi buruk bagi Komodo dan masyarakat lokal?

Selama bertahun-tahun, warga di sekitar Taman Nasional Komodo merasa geram dengan izin pembangunan ratusan vila di Pulau Padar. Mereka menganggapnya sebagai “ketidakadilan yang dilakukan pemerintah.” Para pelaku wisata lokal pun tak kalah khawatir. Mereka takut proyek ini akan “membunuh habitat komodo” dan “membunuh pelaku wisata lokal secara perlahan”.

Kontroversi Izin dan Kekhawatiran Warga

Izin pembangunan ini sebenarnya sudah dikeluarkan sejak tahun 2014 oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat itu, Siti Nurbaya, melalui surat keputusan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE). Perusahaan ini mendapatkan hak untuk mengelola kawasan seluas 274,13 hektare, atau sekitar 19,5% dari luas Pulau Padar, untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.

Meskipun Kepala Balai Taman Nasional Komodo mengklaim bahwa “area terbangun itu hanya 5,64 persen dari izin tersebut”, kekhawatiran warga tetap tak terbendung. Juli lalu, Kementerian Kehutanan menggelar konsultasi publik untuk membahas AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) proyek ini. Bagi sebagian warga, konsultasi ini justru menjadi “hikmah” karena mereka jadi tahu seberapa masif rencana pembangunan yang disusun PT KWE.

Pulau Padar bukan sekadar pulau biasa. Ia adalah jantung destinasi di Nusa Tenggara Timur (NTT), rumah bagi pantai berpasir pink yang ikonik dan pemandangan matahari terbit serta terbenam yang memukau. Di pulau ini juga hidup sekitar 31 ekor komodo.

Jeritan Warga: “Kami Sakit Hati!”

Konsultasi publik seharusnya menjadi wadah bagi perusahaan dan masyarakat untuk berdialog tentang dampak lingkungan. Namun, banyak warga memilih untuk tidak hadir sebagai bentuk protes. Alimudin, seorang warga taman nasional, merasa pemerintah tidak adil. Ia membandingkan lahan yang diberikan kepada 2.000 warga Desa Komodo (hanya sekitar 27 hektare) dengan lahan yang diberikan kepada perusahaan (sepuluh kali lipat lebih luas). “Bagaimana masyarakat tidak sakit hati? Ini kan ketidakadilan agraria yang dirasakan oleh masyarakat di kawasan ini,” ujarnya dengan nada kecewa.

Sejak Taman Nasional Komodo dideklarasikan pada 1980, warga Komodo sudah beberapa kali mengalami “penyingkiran”. Dulu, mereka memiliki perkebunan sentral di Loh Liang, Pulau Komodo, namun dipindahkan demi “kepentingan konservasi”. Bahkan, nelayan lokal pun kehilangan akses untuk menangkap ikan karena wilayah tangkap mereka diubah menjadi zona wisata laut.

Janji Manis Pembangunan vs. Ancaman Nyata

Direktur Konservasi Kawasan Kementerian Kehutanan, Sapto Aji Prabowo, mengklaim bahwa PT KWE masih dalam proses penyusunan AMDAL dan hasilnya akan dilaporkan kepada UNESCO sebelum pembangunan dimulai. Izin pengelolaan yang dipegang PT KWE berlaku selama 55 tahun, dengan izin pembangunan tahap I keluar pada tahun 2020.

Namun, keraguan tetap menghantui. Sekretaris ASITA Manggarai Raya, Getrudis Naus, mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap konservasi. “Di mana fakta konservasi itu ketika wilayah itu diberikan kepada pihak-pihak untuk membuka dan membangun fasilitas semewah itu?” tanyanya dengan nada geram. Ia bahkan menuding bahwa proyek ini bukan hanya “membunuh habitat komodo”, tapi juga “membunuh masyarakat Flores secara keseluruhan”.

Apa Kata AMDAL?

Dokumen AMDAL PT KWE yang diperoleh BBC mengakui adanya potensi gangguan terhadap komodo akibat pembangunan vila. Limbah dapur dari penginapan juga bisa membuat komodo terbiasa mencari makan di lokasi pembuangan sampah. Selain itu, aktivitas manusia dan pembangunan bisa mengganggu kegiatan alami komodo, seperti bersarang dan mencari makan.

Untuk mengatasi masalah ini, PT KWE menawarkan beberapa mitigasi, seperti pembangunan sarana dengan sistem panggung, prosedur operasional standar untuk melindungi komodo, dan sistem penyimpanan serta pembuangan sisa makanan yang aman.

Harapan Terakhir: UNESCO

Kelompok warga, pelaku usaha lokal, dan pegiat lingkungan kini menaruh harapan pada UNESCO. Mereka berencana mengirim surat penolakan kepada badan PBB tersebut. Taman Nasional Komodo telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1991. Status ini mengharuskan segala bentuk pengelolaan dan pembangunan harus memenuhi kewajiban internasional, termasuk melindungi habitat alami komodo dan memastikan pembangunan berkelanjutan.

UNESCO sendiri telah menyoroti temuan dampak negatif terhadap nilai universal luar biasa (OUV) dalam rencana induk pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut. Mereka meminta Indonesia untuk memperhatikan dampak itu sebelum mengambil keputusan yang sulit dibatalkan dan memastikan tidak ada pembangunan yang disetujui jika dapat merusak OUV.

Jadi, bagaimana menurutmu? Apakah pembangunan vila di Pulau Padar ini akan membawa kemajuan atau justru menjadi awal kehancuran bagi Komodo dan masyarakat lokal? Bagikan pendapatmu di kolom komentar dan jangan lupa share artikel ini agar semakin banyak orang peduli dengan kelestarian Taman Nasional Komodo!

Leave a Comment

Related Post