Pro-Kontra Amnesti dan Abolisi untuk Kasus Korupsi

Admin Utama

August 6, 2025

4
Min Read

PEMBERIAN amnesti dan abolisi dalam kasus hukum di Indonesia bukanlah hal yang baru. Baru-baru ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pemberian abolisi kepada Tom Lembong, terpidana kasus korupsi impor gula, serta amnesti untuk Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Keputusan ini diumumkan oleh Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, pada Kamis, 31 Juli 2025.

Pemberian amnesti dan abolisi sebenarnya bukanlah hal yang baru, sebal telah diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Dalam ayat 2, disebutkan bahwa Presiden berhak memberikan amnesti dan abolisi dengan mempertimbangkan pandangan DPR. Namun, ini kali pertama amnesti dan abolisi diberikan kepada terdakwa kasus korupsi. Akibatnya, keputusan Presiden Prabowo ini dianggap sebagai preseden yang bisa merusak upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi tersebut dimaksudkan untuk menciptakan persatuan menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus mendatang. “Pertimbangannya pasti demi kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya dalam konferensi pers di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Istana Kepresidenan menjelaskan lebih lanjut bahwa keputusan ini diambil untuk menjunjung prinsip persatuan dan gotong royong, dengan tujuan untuk mempersatukan seluruh elemen bangsa. Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, menambahkan bahwa pemberian amnesti dan abolisi dilakukan dalam rangka mempererat hubungan antar warga negara, khususnya menjelang peringatan kemerdekaan.

Namun, tidak semua pihak sepakat dengan keputusan ini. Beberapa kalangan menilai bahwa keputusan tersebut berpotensi merusak komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Adi Prayitno, menganggap alasan pemberian amnesti dan abolisi sebagai upaya untuk menjaga kondusivitas politik.

Menurutnya, langkah tersebut diambil untuk meredakan ketegangan politik menjelang Pemilu 2024, mengingat Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto masing-masing mewakili kubu yang berbeda dalam percakapan politik Indonesia.

Adi menilai bahwa pemberian amnesti kepada Hasto, yang selama ini merupakan bagian dari kubu oposisi, tidak otomatis mengubah sikap politik PDIP terhadap pemerintahan Prabowo. “Tak sesederhana itu. PDIP kelihatan ingin di luar, tapi dalam praktiknya PDIP mendukung penuh pemerintahan Prabowo,” kata Adi.

Sementara itu, dosen komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai bahwa keputusan ini merupakan upaya Prabowo untuk merangkul semua pihak, termasuk lawan politiknya. “Ini adalah langkah Prabowo untuk meredam polarisasi politik yang masih terasa pasca-pemilu,” katanya.

Namun, bagi sebagian kalangan, pemberian abolisi dan amnesti kepada para terpidana kasus korupsi bisa memicu persepsi negatif. Hendri Satrio mengingatkan bahwa Prabowo perlu menjaga komunikasi publik agar tidak menimbulkan dugaan bahwa langkah ini lebih terkait dengan kalkulasi politik daripada upaya tulus untuk persatuan bangsa.

Meski demikian, sejumlah pihak tetap menekankan bahwa keputusan amnesti dan abolisi ini adalah hak prerogatif Presiden. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi terhadap Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Yusril menambahkan bahwa amnesti dan abolisi menghapuskan akibat hukum dari tindak pidana yang dilakukan oleh individu terkait.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa pemberian amnesti dan abolisi dalam kasus korupsi seharusnya tidak dilakukan melalui jalur politik, melainkan jalur hukum formal. “Kasus ini kan kasus hukum, bukan politik,” ujarnya.

Sebelumnya, Preisden Joko Widodo atau Jokowi pernah berikan grasi kepada Annas Maamun. Mantan Gubernur Riau itu menerima grasi pada 2019, yang mengurangi hukumannya dari 7 tahun menjadi 6 tahun. Annas terjerat kasus korupsi yang melibatkan alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit.

Annas diringkus penyidik KPK dalam operasi tangkap tangan pada 25 September 2014 di rumahnya bersama sembilan orang lainnya. Usai KPK gelar perkara, lembaga antirasuah menetapkan Ketua DPD Golkar Riau itu menjadi tersangka penerima suap Rp 2 miliar terkait proses alih fungsi 140 hektar lahan kebun sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.

Myesha Fatina Rachman, Andita Rahma, Hammam Izzuddin, dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Mereka Kritisi Putusan Prabowo untuk Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto

Leave a Comment

Related Post