Waduh! Kabar mengejutkan datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bayangkan, 28 juta rekening yang selama ini “tidur” atau dikenal sebagai rekening dormant, tiba-tiba dicabut pemblokirannya! Ini bukan angka main-main, lho. Para analis bahkan langsung menyoroti kebijakan PPATK ini, menyebutnya “bermasalah sedari awal”.
Kok bisa jutaan rekening yang tadinya diblokir, kini dibuka lagi? Pakar ekonomi sampai blak-blakan bilang PPATK “gagal memahami pola bisnis keuangan yang berbasis kepercayaan.” Pemblokiran massal ini sempat bikin heboh dan sekarang pembukaan kembali rekening-rekening ini jadi sorotan utama. Juru Bicara PPATK, Natsir Kongah, mengumumkan pencabutan blokir ini pada Kamis (31/07), setelah mereka meninjau ulang dan memastikan rekening tersebut tidak terkait dengan tindak pidana apapun. “Per hari ini 28 juta lebih rekening kami buka,” kata Natsir.
Sebelumnya, PPATK mengklaim pembekuan rekening tanpa aktivitas ini adalah untuk “melindungi rekening dari potensi penyalahgunaan dan kejahatan, seperti penipuan dan pencucian uang.” Tapi, kebijakan ini justru memicu gelombang keluhan dari masyarakat. Banyak yang merasa ini seperti “sabotase pemerintah”, terutama bagi mereka yang sengaja mengendapkan dana di rekening sebagai tabungan dan dana darurat. Bank-bank sendiri ikut bersuara, menyatakan pemblokiran ini demi mematuhi regulasi otoritas keuangan dan meminta masyarakat tidak cemas dengan dana serta data mereka.
PPATK Tepis Tuduhan Serampangan
Kepala Biro Humas PPATK, Natsir Kongah, menegaskan pembukaan kembali rekening yang diblokir didasarkan pada formulir keberatan dari nasabah. “Kami ketahui dia pemilik sah dan transaksinya tidak terindikasi tindak pidana, ya, PPATK minta bank untuk membuka rekeningnya,” jelas Natsir kepada BBC News Indonesia. Ia menepis keras tudingan bahwa PPATK serampangan dalam kebijakan ini. Menurutnya, PPATK sejak Mei lalu telah memblokir sekitar 31 juta rekening dormant dengan nilai fantastis, mencapai Rp 6 triliun. Dari jumlah itu, 140 ribu rekening tidak transaksi lebih dari 10 tahun, dengan nilai Rp 428 miliar.
“PPATK itu niatnya lurus, melindungi kepentingan masyarakat dan nasabah,” kata Natsir, bahkan mengklaim “Justru banyak yang bersyukur karena dilindungi.” Dalam pernyataannya pada 29 Juli lalu, PPATK beralasan kebijakan ini sebagai upaya perlindungan pemilik sah nasabah, karena rekening dormant kerap jadi target kejahatan dalam lima tahun terakhir. Rekening pasif ini, kata mereka, sering diperjualbelikan atau digunakan sebagai penampung tindak pidana seperti korupsi, narkotika, judi online, dan peretasan digital. Bank-bank besar seperti BCA dan BNI juga menyatakan dukungan penuh terhadap langkah PPATK ini, mengimbau nasabah untuk menjaga keaktifan rekening mereka demi penguatan sistem keuangan nasional.
“Gagal Pahami Prinsip Perbankan”?
Namun, tidak semua setuju. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai pemblokiran rekening dormant ini sebagai kekeliruan fatal. “Ini kan strategi yang salah. Mau nangkap yang jahat, tapi enggak bisa menyeleksi mana yang jahat dan mana yang baik,” kritiknya. Eko menyebut PPATK seharusnya bisa mengoptimalkan jaringannya untuk memetakan simpul-simpul pelaku judi online. Lebih dari itu, ia berpendapat PPATK gagal memahami pola bisnis perbankan, terutama kebiasaan masyarakat menyimpan dana di tabungan sebagai dana darurat. “Mereka kan orang keuangan yang seharusnya mengerti bagaimana bisnis keuangan berjalan,” tegas Eko. “Dasar ada tabungan itu kan agar bisa diambil sewaktu-waktu, berbeda dengan deposito. Jadi, kebijakan ini problematik sekali.”
Senada dengan Eko, Ekonom Universitas Indonesia, Telisa Falianty, menilai keluhan masyarakat adalah bukti kebijakan PPATK ini bermasalah. “Ini kan PPATK melakukan generalisasi—tidak sejalan dengan prinsip know your customer di perbankan,” ujarnya.
Dampak Baik dan Buruk Pemblokiran Rekening
Meski demikian, beberapa ekonom mengakui bahwa rekening dormant memang sering disalahgunakan. Ekonom Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), David Sumual, melihat sisi positifnya. “Dampak baik dari pemblokiran ini menangkal kejahatan-kejahatan itu,” katanya. Menurut David, industri perbankan nasional yang bebas dari ragam tindak pidana akan menjaga transparansi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, membuat investor yakin pada good governance pemerintah.
PPATK juga menemukan fakta menarik lainnya: ada 2.000 rekening instansi pemerintah yang diblokir dengan nilai mencapai Rp 500 miliar, dan sekitar 10 juta rekening penerima bantuan sosial (bansos) yang tidak aktif selama tiga tahun dengan dana mengendap mencapai Rp 2,1 triliun. David Sumual menilai pemblokiran dana bansos yang mengendap ini positif, karena bansos seharusnya segera digunakan untuk memutar roda perekonomian. “Dana bansos besar, tapi efeknya tidak sesuai target ekonomi,” jelas David.
Eko Listiyanto setuju dengan potensi positif ini, tapi ia menekankan pentingnya ketelitian dalam pemblokiran, yaitu dengan mendalami sejarah pergerakan rekening. “Jangan dipukul rata semua rekening dormant yang dibekukan. Harus diteliti lebih lanjut apakah rekening itu terindikasi pidana atau tidak,” ujarnya. Eko khawatir jika PPATK tidak mengevaluasi mekanisme ini, minat masyarakat untuk menyimpan uang di bank akan tergerus, yang dalam jangka panjang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. INDEF bahkan mencatat, pengelolaan Dana Pihak Ketiga (DPK) oleh bank per Mei 2025 turun 4% dibanding periode sama tahun sebelumnya (8%). “Indonesia sedang membangun reputasi keuangan, tapi pemblokiran yang tidak teliti ini justru dapat menimbulkan ketidakpastian di masyarakat dan menurunkan minat menabung di bank,” kata Eko. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Telisa Falianty juga mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan ini agar tidak mempersulit konsumen dan mencegah “pembuktian terbalik” dari masyarakat.
“Ini Antara Prank, Teror, atau Sabotase”
Keluhan paling pedih datang dari nasabah yang terdampak langsung. Ambil contoh Tia, seorang WNI yang sedang kuliah di Inggris. Tiga rekeningnya—satu bank digital, satu bank swasta, dan satu bank BUMN—diblokir tanpa pemberitahuan. Ia mengaku “berasa dikerjain. Ini antara prank, teror, atau sabotase.” Tia yang sengaja mendiamkan rekeningnya karena tidak bertransaksi rupiah, dibuat kesal karena harus mengisi formulir keberatan ke PPATK, bahkan diminta datang langsung ke kantor bank. Padahal, tautan formulir PPATK tidak bisa dibuka dari luar negeri dan aplikasi bank juga tidak bisa digunakan di sana. “Sebagai warga Indonesia yang tinggal di luar negeri, saya merasa ini kesenjangan geografis. Sabotase yang tidak ada solusinya,” keluhnya. Nasib serupa dialami Citra, mahasiswa di Jerman, yang rekeningnya di salah satu bank BUMN tak bisa digunakan tanpa pemberitahuan. Meski ia akan pulang akhir Agustus, kekesalannya belum mereda. “Kalau mau blokir, ya, diberitahu dulu lah,” ucapnya. Bagi Tia, yang kini diburu tenggat tugas akhir, ini adalah “disrupsi kehidupan, bukan perlindungan.”
Jadi, meskipun PPATK berdalih ingin melindungi kita dari kejahatan, kebijakan pemblokiran rekening “tidur” ini ternyata memicu kontroversi dan menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, terutama mereka yang sama sekali tidak bersalah. Pembukaan kembali jutaan rekening ini seolah mengakui ada yang kurang pas dari awal. Apakah ini berarti PPATK harus lebih presisi lagi dalam menindak kejahatan tanpa merugikan masyarakat luas?
Menurut Anda, apakah langkah PPATK ini sudah tepat atau justru merusak kepercayaan publik terhadap sistem perbankan? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar dan mari kita diskusikan! Jangan lupa sebarkan artikel ini agar lebih banyak orang tahu dan memahami duduk perkaranya!









Leave a Comment