Geger! Kafe dan restoran di daerah Tebet, Jakarta Selatan, mendadak mengurangi bahkan menghentikan pemutaran lagu-lagu Indonesia. Alasannya? Polemik soal royalti lagu yang bikin pengusaha was-was. Dikutip dari Antara, mereka kini lebih memilih memutar musik instrumental atau lagu barat. Ada apa sebenarnya di balik isu yang bikin heboh ini?
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, angkat bicara soal kegelisahan ini. Menurutnya, ini semua karena ada “kesalahpahaman” dan “ketakutan semacam itu” yang harus segera dibenahi agar ada solusi win-win. Ia menyampaikan hal ini di Depok, Jawa Barat, Minggu, 3 Agustus 2025.
Fadli Zon menegaskan, permasalahan royalti musik ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Kebudayaan semata. Butuh keterlibatan serius dari Kementerian Hukum, khususnya dalam hal perlindungan hak cipta dan kekayaan intelektual (HAKI). “Kami ingin agar lagu-lagu Indonesia semakin berkembang,” ujarnya, menekankan pentingnya pembahasan bersama antar berbagai kementerian dan lembaga yang berwenang.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, lantas memberikan penegasan penting. Ia menjelaskan bahwa royalti lagu dan musik itu sama sekali bukan bentuk pajak atau cukai yang dipungut untuk kepentingan negara. Sebaliknya, ini adalah hak penuh bagi para pencipta, penyanyi, dan pemilik lagu atas karya mereka.
Supratman melanjutkan, pemerintah tidak menarik royalti musik ini. Pengelolaan dan penghimpunannya dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Penting untuk diketahui, meskipun LMKN dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, LMKN adalah lembaga nonpemerintah. Anggotanya pun terdiri dari komunitas pencipta lagu, penyanyi, dan musisi itu sendiri. Jadi, proses pemungutan, pengelolaan, hingga penyaluran royalti dilakukan oleh komunitas mereka. “Royalti musik yang terkumpul sepenuhnya bukan milik negara, dan proses pemungutannya pun bukan dilakukan oleh pemerintah,” tegas Supratman.
Senada dengan Supratman, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Agung Damarsasongko, menekankan bahwa isu royalti ini perlu perhatian serius dari LMKN. “Wilayah Indonesia sangat luas, jadi tidak bisa hanya LMKN atau pemerintah yang melakukan sosialisasi. Perlu adanya kemitraan dan upaya bersama dalam membangun kesadaran publik,” ujar Agung saat ditemui Tempo di kantor Kementerian Hukum, Jumat, 1 Agustus 2025.
DJKI sendiri terus memberikan pendampingan kepada LMKN melalui pengawasan dan supervisi. LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) diwajibkan untuk menyampaikan laporan audit keuangan dan kinerja setiap tahunnya. Selain itu, DJKI juga membuka layanan konsultasi teknis bagi masyarakat dan pengguna terkait pelayanan LMKN. “Dari situ, kami memberikan masukan,” katanya.
Tidak hanya itu, DJKI juga aktif memanfaatkan media sosial dan platform daring untuk memberikan edukasi kepada publik. Salah satu konten yang digunakan adalah video informatif mengenai penggunaan lagu di tempat usaha. Agung menunjukkan salah satu video edukasi yang diproduksi Humas DJKI, menjelaskan bahwa penggunaan layanan musik berlangganan seperti Spotify untuk kepentingan komersial tetap termasuk dalam kategori pemanfaatan karya yang wajib dibayarkan royaltinya. “Konten semacam ini sudah sangat sering kami produksi,” tutur Agung.
Lalu, bagaimana tanggapan para pengusaha? Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyatakan pihaknya memahami dan menghargai pentingnya perlindungan hak cipta, termasuk terhadap karya musik. Ia menegaskan bahwa para pencipta lagu dan musisi memang layak mendapatkan penghargaan yang setimpal atas karya mereka. “Namun, kami juga perlu menyampaikan bahwa saat ini industri perhotelan sedang menghadapi situasi yang tidak mudah,” ujarnya seperti dikutip dari Antara pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Oleh karena itu, Sutrisno menyampaikan harapannya agar kebijakan kewajiban pembayaran royalti dapat diterapkan secara adil, bijaksana, dan proporsional. “Jangan sampai upaya mulia dalam melindungi hak cipta justru berdampak negatif terhadap daya saing sektor lain, khususnya hotel-hotel kecil dan menengah yang tengah berjuang untuk sekadar bertahan,” pesannya.
Jadi, polemik royalti lagu ini ternyata lebih kompleks dari sekadar urusan bayar-membayar. Ada kebutuhan besar akan sosialisasi yang lebih masif, koordinasi antarlembaga, dan tentu saja, pengertian dari semua pihak. Penting bagi kita semua untuk memahami bahwa hak cipta itu harus dihormati sebagai bentuk penghargaan terhadap karya, namun keberlangsungan usaha juga tak boleh diabaikan. Mari kita dukung musik Indonesia dengan cara yang bijak dan saling menguntungkan!
Bagaimana pendapat Anda soal isu royalti musik ini? Apakah Anda setuju dengan langkah kafe di Tebet atau justru ada solusi lain? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan jangan lupa sebarkan artikel ini agar lebih banyak lagi yang tercerahkan!









Leave a Comment