Guru Sekolah Rakyat Mundur Massal: Mimpi Pendidikan Terancam Gagal?
Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan: 143 calon guru Sekolah Rakyat memilih untuk mengundurkan diri! Apakah ini pertanda buruk bagi program ambisius ini? Gus Ipul sendiri sih maklum, tapi kita sebagai masyarakat, patut bertanya-tanya.
“Kami menghormati keputusan mereka,” ujar Saifullah saat mengunjungi Sekolah Rakyat Menengah Atas 10 Jakarta (9/8/2025). Ia menambahkan, alasan utama pengunduran diri ini adalah penempatan yang jauh dari kampung halaman dan kemungkinan besar, para guru sudah lebih dulu diterima sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mundurnya ratusan guru ini tentu menimbulkan pertanyaan besar. Apakah program Sekolah Rakyat ini sudah direncanakan dengan matang? Apakah kebutuhan dan kondisi para guru sudah dipertimbangkan?
Gus Ipul sendiri mengklaim bahwa pengunduran diri ini tidak akan mengganggu operasional sekolah karena sekolah belum beroperasi. Guru pengganti juga sudah disiapkan dan akan dilantik pada tahap kedua September 2025. Bahkan, jika kekurangan guru, kepala sekolah siap turun tangan sementara.
Namun, kasus pengunduran diri guru ini bukan hanya isapan jempol belaka. Sebelumnya, dua guru di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 24 Gowa, Sulawesi Selatan, juga melakukan hal serupa. Kepala Sekolah SRMP 24 Gowa, Anwar, menjelaskan bahwa kedua guru Bimbingan Konseling (BK) dan Seni Budaya itu berdomisili di Yogyakarta dan kesulitan pindah karena alasan keluarga.
160 guru Sekolah Rakyat di seluruh Indonesia telah mengundurkan diri, sebuah angka yang cukup signifikan. Kemensos mengklaim telah menyiapkan lebih dari 50 ribu guru cadangan yang sedang mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Tapi, tetap saja, lonjakan pengunduran diri ini menimbulkan kekhawatiran akan efektivitas program Sekolah Rakyat.
Kondisi serupa juga terjadi di Sekolah Rakyat Sentra Wirajaya Makassar, di mana dua guru IPS dan Seni Budaya juga mengundurkan diri karena jarak tempuh yang jauh. Fenomena ini memicu kritik terhadap sistem penempatan guru yang dinilai terlalu sentralistik dan tidak mempertimbangkan kondisi geografis serta kebutuhan lokal.
Yanuar Nugroho, pengamat kebijakan publik dari Nalar Institute, berpendapat bahwa sistem administratif pemerintah terlalu kaku dan mengabaikan realitas sosial. “Penempatan yang dilakukan oleh sistem administratif tanpa mempertimbangkan domisili atau kapasitas mobilitas para guru menyebabkan ketidaksesuaian antara kebutuhan pendidikan di daerah dengan kesiapan pribadi guru,” jelas Yanuar.
Jadi, apa yang bisa kita simpulkan? Program Sekolah Rakyat ini memang punya niat baik, tapi implementasinya masih jauh dari sempurna. Pengunduran diri massal guru menjadi lampu kuning yang harus segera diatasi. Jika tidak, mimpi mencerdaskan anak bangsa melalui Sekolah Rakyat bisa jadi hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Apakah pemerintah akan berbenah dan memperbaiki sistem penempatan guru? Atau program Sekolah Rakyat ini akan bernasib sama dengan program-program pendidikan lainnya yang gagal di tengah jalan? Bagaimana menurut Anda? Sampaikan pendapat Anda di kolom komentar dan jangan lupa bagikan artikel ini!









Leave a Comment