
Vonis Mengejutkan Purnawirawan Kolonel! Hanya 3 Bulan Penjara Padahal Dituduh Rugikan Miliaran Rupiah, Korbannya Teriak Tak Adil!
Kabar mengejutkan datang dari meja hijau Pengadilan Militer Tinggi 1 Medan! Mantan Ketua Puskopkar A Kodam 1/Bukit Barisan, Kolonel Infanteri Purnawirawan Igit Donolego, divonis ringan hanya tiga bulan penjara dengan masa percobaan empat bulan. Vonis ini dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai Kolonel Farma Nihayatul Aliyah pada 13 Juni 2025.
Anehnya, vonis yang diberikan terasa lebih berat bagi Igit, mengingat Oditur Kolonel Muhammad Al Hadi justru menuntut bebas! Tentu saja, Igit yang merasa tak terima langsung mengajukan banding ke Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama) di Jakarta melalui penasihat hukumnya. Namun, di sisi lain, Santo Sumono, Komisaris PT Poly Kartika Sejahtera (PT PKS) yang menjadi pelapor sekaligus korban, justru mengapresiasi keputusan hakim, meskipun ia keberatan dengan vonis yang terlalu ringan dan tanpa ganti rugi. Santo Sumono merasa keadilan belum berpihak padanya.
“Kami menanyakan proses banding yang diajukan terdakwa, apa putusannya. Kami berharap Dilmiltama memperberat hukumannya,” ujar Leo L.Napitupulu, kuasa hukum Santo Sumono, kepada Tempo pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Harapan agar hukuman diperberat bukan tanpa alasan. Ini semua bermula dari kerja sama PT PKS dengan Puskopkar A Kodam 1/Bukit Barisan dalam mengelola perkebunan sawit seluas 714 hektare di Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, sejak tahun 1993. Sesuai perjanjian, kerja sama ini seharusnya baru berakhir di tahun 2040. Namun, tiba-tiba muncul surat yang menyatakan bahwa lahan kebun akan dijadikan pangkalan militer.
Untuk menyelesaikan masalah ini, ditunjuklah akuntan publik untuk menilai aset. Total nilai aset mencapai Rp 47 miliar. Terjadilah kesepakatan untuk membayar kompensasi sebesar Rp 37 miliar, di mana Santo Sumono seharusnya mendapat Rp 20,35 miliar. Namun, apa yang terjadi? Igit Donolego sama sekali tidak menjalankan kesepakatan itu! Bahkan, secara sepihak, ia mengusir pekerja PT PKS menggunakan kekuatan militer!
“Diputus tiba-tiba dan sepihak. Kami diusir dengan mengerahkan pasukan. Kerja sama dialihkan ke pihak ketiga, hasilnya dinikmati Puskopkar, Rudy dan Aspin. Tindakan ini jelas merugikan Pak Santo, apalagi ada dugaan kolusi dalam pengelolaan kebun sawit,” ungkap Leo dengan nada geram.
Kecurigaan ini makin menguat saat terungkap bahwa Surat Perintah Kerja (SPK) diberikan kepada Rudy dengan tembusan ke Kodam 1/BB. Namun, surat kuasa jual tandan kelapa sawit justru diberikan kepada Aspin Tanadi tanpa tembusan ke jajaran Kodam 1/BB. Menurut Leo, ini yang menimbulkan dugaan kolusi antara Igit dengan mantan Kasdam yang bahkan sudah dijelaskan mantan Sekum Puskopkar saat diperiksa sebagai saksi. Ada lagi fakta mengejutkan: Juliani, yang bertahun-tahun bekerja di bagian keuangan unit perkebunan Puskopkar, tiba-tiba bisa pindah ke perusahaan Aspin. “Ini, kan, menimbulkan kecurigaan dan tanda tanya besar. Kami mohon perlindungan hukum dan keadilan, minimal Dilmiltama menguatkan vonis atau menambah hukuman terdakwa,” tegas Leo.
Santo Sumono sendiri menceritakan kepada Tempo bahwa kasus ini sampai ke persidangan gara-gara pemutusan kerja sama sepihak antara Puskopkar dengan PT PKS terhadap pengelolaan kebun sawit yang seharusnya berakhir pada 2040. Pada 20 November 2017, PT PKS menerima surat Nomor: B/4315/XI/2017 yang ditandatangani Asisten Logistik atas nama Panglima Kodam 1/BB tentang Penggunaan Lahan Kebun Seituan untuk pembangunan pangkalan militer. Ketua Puskopkar kemudian meminta semua kegiatan operasional dan replanting ditunda dan disesuaikan dengan kondisi keuangan. PT PKS diminta mencari jasa akuntan publik untuk menghitung seluruh nilai aset perusahaan dan tanaman.
“Hasil audit menyebut total investasi Rp 47 miliar lebih. Nilai kompensasi PT PKS Rp 37 miliar. Saya seharusnya mendapat Rp 20 miliar lebih. Harusnya terealisasi pada 20 Februari 2020, tapi sampai sekarang nihil,” keluh Santo.
Puncaknya, awal September 2020, kebun malah diambil alih secara sepihak! Satu regu pasukan dari Batalyon 121 bahkan ditempatkan di sana. Mulai 12 Oktober 2020 sampai sekarang, tandan buah segar (TBS) sawit diambil, dipanen, diangkut, dan dijual ke pihak ketiga, yaitu Aspin Tanadi dan Rudi. Seluruh aset dan inventaris PT PKS juga diambil dan dikuasai sepihak, mulai dari kantor, gudang beserta isinya, mess, 33 unit perumahan karyawan, hingga traktor dan truk.
Sebulan berselang, tepatnya 12 Oktober 2020, koperasi yang saat itu diketuai terdakwa Igit Donolego mengirim surat pemutusan perjanjian kerja sama sepihak. Isi surat itu menyatakan: pembuatan perjanjian bertentangan dengan AD/ART Puskopkar, serta manajemen PT PKS tidak profesional mengelola kebun sehingga merugikan koperasi. “Alasannya tidak masuk akal. Sejak awal bekerja sama, mereka menempatkan personel aktif untuk mengawasi operasional dan aktivitas di kebun,” ucap Santo, menampik tuduhan tersebut.
Pada akhirnya, Kolonel Igit Donolego divonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan empat bulan, dan hanya membayar biaya perkara sebesar Rp 25.000. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Militer (Dilmilti) 1 Medan menyatakan terdakwa terbukti melakukan penyalahgunaan kekuasaan sesuai Pasal 126 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) pada 13 Juni 2025.
“Kami tidak sepakat dengan hukuman yang dijatuhkan karena korban mengalami kerugian Rp 20 miliar lebih, hukuman yang dijatuhkan belum mencerminkan rasa keadilan,” tutup Leo.
Kasus ini menyisakan banyak pertanyaan tentang keadilan dan transparansi. Kerugian yang dialami Santo Sumono dan PT PKS mencapai miliaran rupiah, namun vonis yang dijatuhkan terasa sangat ringan. Akankah Dilmiltama mengabulkan permohonan banding untuk memperberat hukuman? Kita tunggu saja kelanjutan dari drama hukum yang melibatkan Puskopkar A Kodam 1 Bukit Barisan dan kasus perkebunan sawit ini.
Bagaimana menurut Anda? Apakah vonis ini sudah adil? Mari berikan pendapat Anda di kolom komentar dan bagikan artikel ini agar lebih banyak orang tahu tentang kasus yang tak biasa ini!









Leave a Comment