Geger! Sebuah skandal dugaan kekerasan seksual mengguncang salah satu lembaga HIV-AIDS terbesar di Jakarta, memicu gelombang kemarahan publik yang dituangkan dalam petisi daring. Bayangkan, di tengah upaya mulia memberantas HIV-AIDS, justru terjadi dugaan pelecehan serius yang pelakunya kabarnya masih ‘aman-aman’ saja!
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Gerakan Anti Pelecehan Seksual (Sigaps) tak tinggal diam. Mereka meluncurkan petisi di laman change.org dengan tajuk menohok: ‘Hentikan Impunitas Kekerasan Seksual di Lembaga HIV-AIDS’. Hingga Selasa, 5 Agustus 2025, lebih dari 200 suara telah bersatu menyerukan keadilan, menuntut agar dugaan kasus ini tak lagi ditutupi.
Kasus ini berpusat pada seorang perempuan yang diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang laki-laki yang menjabat sebagai direktur sekaligus ketua pengurus lembaga itu sendiri. Yang lebih mengejutkan, sebuah tim investigasi independen yang dipimpin seorang doktor psikologi berpengalaman telah bekerja selama dua bulan, dan pada 9 Juli 2025, mereka menyimpulkan adanya tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh sang direktur. Rekomendasinya jelas: copot pelaku dari jabatannya!
Namun, di sinilah drama sesungguhnya dimulai. Alih-alih menindaklanjuti rekomendasi tim, lembaga tersebut justru terkesan ‘malas gerak’. Bahkan, mirisnya, Sigaps menuding pelaku malah sibuk membentuk opini publik, menyebarkan informasi pribadi korban, dan menstigma korban seolah dialah pihak yang salah. Ini bukan sekadar penundaan, ini adalah bentuk perlawanan terhadap keadilan!
Petisi memang sengaja tidak menyebutkan nama pelaku atau lembaga, tapi satu hal yang ditegaskan: lembaga ini adalah penerima hibah dana HIV-AIDS terbesar di Indonesia! Mereka mengelola program komunitas, hak asasi manusia, dan gender menggunakan dana bantuan global. Harusnya, institusi semulia ini menjadi garda terdepan penegak nilai-nilai hak asasi manusia dan pencegahan segala bentuk eksploitasi atau pelecehan seksual. Ironisnya, dugaan pelanggaran justru terjadi di ‘rumah’ mereka sendiri.
Melihat fakta ini, Sigaps melalui petisinya mendesak beberapa poin krusial:
- Mendesak agar rekomendasi tim investigasi segera ditindaklanjuti secara terbuka dan bertanggung jawab sebagai bentuk komitmen terhadap keadilan.
- Mendorong pelaku untuk meminta maaf secara terbuka kepada korban dan publik, serta segera mundur dari posisi kepemimpinan organisasi.
- Menghentikan segala bentuk pembelaan terhadap pelaku atas nama ‘nama baik organisasi’. Ingat, menjaga nama baik tak bisa dibenarkan dengan mengorbankan keadilan!
- Memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan dukungan dan pemulihan penuh, termasuk akses layanan psikologis dan hukum, serta jaminan keamanan di lingkungan sosialnya.
- Mewajibkan pelaku menjalani proses konseling dan rehabilitasi psikososial demi mencegah terulangnya tindakan serupa.
Seruan lantang ini ditujukan kepada pihak-pihak berwenang yang memiliki kekuatan untuk bertindak: Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Country Coordinating Mechanism The Global Fund, dan Kementerian Kesehatan. Akankah mereka mendengarkan suara keadilan ini?
Kasus dugaan kekerasan seksual di lembaga yang seharusnya menjadi pelindung ini adalah cermin betapa mendesaknya kita untuk memerangi impunitas. Ini bukan hanya tentang satu kasus, tapi tentang janji keadilan bagi setiap korban. Sudah saatnya kita menuntut transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan nyata bagi para korban. Jangan biarkan kasus seperti ini menguap begitu saja!
Bagaimana menurut Anda, haruskah pihak berwenang segera bertindak tegas? Mari bagikan pemikiran Anda di kolom komentar dan sebarkan artikel ini agar semakin banyak mata yang terbuka!









Leave a Comment