Geger! DPR Geram: Kok Bisa Tersangka Pembubaran Retret Kristen Sukabumi Bebas?

Admin Utama

July 5, 2025

4
Min Read

Sains Indonesia – , Jakarta – Sebuah keputusan kontroversial dari Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) mengguncang publik! Tujuh orang tersangka pelaku persekusi dan perusakan retret remaja Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kini bebas sementara setelah penahanan mereka ditangguhkan. Yang lebih mengejutkan, Kementerian HAM justru disebut-sebut ikut “menjamin” penangguhan ini. Benarkah lembaga yang seharusnya membela hak asasi manusia malah melindungi para pelaku intoleransi? Politikus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abraham Sridjaja murka dan tak segan menyebut tindakan ini sebagai tamparan keras bagi kredibilitas institusi negara.

“Kementerian Hak Asasi Manusia tak seharusnya jadi penjamin pelaku intoleransi,” tegas Abraham Sridjaja dalam keterangan yang diterima pada Sabtu, 5 Juli 2025. Ia menilai langkah ini sangat keliru dan berpotensi mencoreng wajah lembaga yang seharusnya berdiri tegak membela keadilan dan hak asasi manusia tanpa kompromi.

Sorotan tajam tertuju pada rapat yang digelar Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta dan Stanislaus Wena, bersama Forkompimda Kabupaten Sukabumi dan tokoh lintas agama pada 3 Juli 2025. Pertemuan yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Sukabumi, Jalan Ahmad Yani, Warudoyong, Kota Sukabumi itu, ternyata menghasilkan rekomendasi mengejutkan. Dari akun Instagram resmi Kementerian HAM, terkuak bahwa Thomas Harming Suwarta mendorong agar kasus ini diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dan juga merekomendasikan agar para tersangka diberikan penangguhan penahanan.

Abraham Sridjaja menyayangkan sikap staf khusus menteri HAM tersebut. Menurutnya, tindakan ini justru mengaburkan esensi sesungguhnya dari peristiwa intoleransi yang terjadi. Alih-alih fokus pada perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap aksi kekerasan, narasi yang dibangun staf khusus tersebut malah memberi kesan bahwa negara seolah memaklumi tindakan intimidasi, apalagi yang menimpa anak-anak yang sedang beribadah. Ini adalah langkah mundur dalam perjuangan menjaga kerukunan beragama di Indonesia.

Meskipun Abraham menyatakan bahwa penyelesaian lewat restorative justice atau perdamaian adalah langkah yang konstruktif dan bisa ditempuh dalam beberapa kasus, ia menolak keras keterlibatan Kementerian HAM sebagai penjamin penangguhan penahanan bagi para pelaku. “Coba kita pikirkan bersama, ini adalah tindakan kriminal yang nyata dan berpotensi melanggar HAM. Lalu Stafsus KemenHAM mengatakan akan menjadi penjamin agar 7 orang ini ditangguhkan penahanannya? Di mana letak logikanya?” ujar politikus dari Partai Golkar itu, mengungkapkan keheranannya.

Abraham kembali menegaskan bahwa Kementerian HAM seharusnya berpihak pada prinsip keadilan dan konstitusi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, bukan malah terlibat dalam langkah-langkah yang berpotensi melemahkan penegakan hukum. Praktik intoleransi, sekecil apapun, tidak boleh diberi ruang sedikitpun di negeri ini. “Kalau negara sendiri malah memberikan kesan melindungi pelaku, maka itu adalah kemunduran besar dalam demokrasi dan perlindungan HAM,” serunya.

Di sisi lain, Kepolisian Daerah Jawa Barat telah bertindak tegas dalam kasus ini. Sebelumnya, Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Rudi Setiawan, dalam keterangan tertulisnya pada Rabu, 1 Juli 2025, telah mengumumkan penangkapan dan penetapan tujuh tersangka yang diduga menjadi pelaku pembubaran dan perusakan rumah yang dijadikan tempat retret pelajar Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. “Polisi berhasil mengidentifikasi dan menetapkan tujuh tersangka yang terlibat dalam aksi perusakan tersebut,” kata Rudi.

Rudi juga merinci peran masing-masing tersangka. Tersangka pertama berinisial RN, yang berperan merusak pagar dan mengangkat salib di tempat retret. Kemudian ada MSM yang berperan menurunkan dan merusak salib besar. Sementara itu, lima tersangka lainnya dengan inisial UE, EM, MD, H, dan EM, turut serta dalam merusak pagar tempat retret. Saat itu, ketujuh tersangka telah ditahan oleh kepolisian untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. “Kami akan lakukan pemeriksaan saksi-saksi lain, sekaligus memeriksa terlapor sebagai dan terduga pelaku,” jelas Rudi.

Insiden memilukan ini bermula ketika warga Desa Tangkil dan Desa Cidahu mengetahui adanya kegiatan keagamaan di rumah milik Maria Veronica Ninna. Warga kemudian melaporkan hal tersebut kepada Kepala Desa dan meminta pemilik rumah untuk memberikan klarifikasi. Namun, karena Ninna mengabaikan permintaan warga, sekelompok warga lalu mendatangi rumah tersebut dan menghentikan kegiatan keagamaan yang sedang berlangsung secara sepihak. Kedatangan warga tersebut kemudian berakhir tragis dengan aksi perusakan. Kerusakan meliputi pagar rumah, kaca-kaca jendela, dan beberapa barang lainnya. “Bahkan, salib yang berada di dalam rumah juga menjadi sasaran perusakan,” ungkap Rudi.

Akibat aksi perusakan intoleran ini, Maria Veronica Ninna diperkirakan menderita kerugian materiil tidak kurang dari 50 juta rupiah, termasuk satu unit kendaraan sepeda motor Honda.

Kisah ini adalah pengingat betapa rapuhnya keadilan jika institusi yang seharusnya menjaga justru abai. Apakah keputusan Kementerian HAM ini benar-benar demi keadilan atau justru menjadi preseden buruk bagi penegakan HAM di Indonesia? Mari kita terus awasi bersama. Bagikan artikel ini dan berikan komentar Anda: apakah Anda setuju dengan penangguhan penahanan pelaku intoleransi ini?

Leave a Comment

Related Post