
Siap-siap merogoh kocek lebih dalam! Mulai Rabu, 6 Agustus 2025, ruas jalan tol Solo-Yogyakarta segmen Klaten-Prambanan sepanjang 8,6 kilometer resmi berbayar. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (PU) No. 683/KPTS/M/2025 tanggal 22 Juli 2025 ini membuka lembaran baru bagi perjalanan Anda. Namun, jangan salah, di balik kemudahan yang ditawarkan, ada potensi bahaya besar yang mengancam jantung pariwisata Kota Pelajar!
Jalan tol Solo-Yogyakarta ini memang menjanjikan surga bagi pelancong. Bayangkan, waktu tempuh dari Semarang ke Yogyakarta bisa dipangkas lebih dari dua jam dibandingkan lewat jalan nasional yang macet dan melelahkan. Dulu butuh perjuangan, kini lebih cepat dan lancar. Namun, kemudahan akses tol ini justru memicu kekhawatiran serius dari para pelaku industri pariwisata.
Bobby Ardyanto, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sudah mewanti-wanti. Menurutnya, semakin lancarnya akses tol berarti traffic atau arus wisatawan yang masuk dan keluar Yogya akan melonjak drastis. Ini yang disebut fenomena overtourism, di mana lonjakan wisatawan melampaui kapasitas kota. Dampaknya? Jangan kaget!
Masalahnya bukan cuma soal jumlah, tapi juga kualitas kunjungan. Banyak wisatawan yang sekadar lewat, ‘menyusuri’ jalannya saja, tanpa niat belanja atau menginap. Jadi, traffic memang naik tinggi, tapi pengeluaran alias spending tetap rendah. Alhasil, pergerakan ekonomi di Yogyakarta kurang terdampak positif. Yang ada malah kemacetan makin parah dan masalah sosial lainnya yang muncul. Yogyakarta bisa-bisa hanya jadi ‘jalan pintas’ bagi pelancong, bukan destinasi utama yang menghasilkan pendapatan signifikan.
Bobby berharap potensi fenomena overtourism ini segera diantisipasi oleh pemerintah daerah dan pelaku industri wisata. Caranya? Perkuat daya tarik dan kualitas produk wisata, mulai dari titik keluar tol sampai ke pusat perkotaan yang menjadi jalur wisatawan. Jangan sampai wisatawan cuma numpang lewat ketika masuk Yogya, tapi juga bisa singgah, belanja, bahkan menginap. Ini PR besar yang harus digarap serius agar wisata Yogyakarta tetap berdaya saing.
Selain overtourism, terbukanya akses tol itu juga memicu kompetisi ketat antar daerah dalam menggarap sektor wisata. Contohnya, wisatawan mungkin datang ke Yogyakarta, tapi memilih akomodasi di daerah lain, seperti Solo, Jawa Tengah, yang tarifnya jauh lebih terjangkau atau bersahabat. Apalagi sekarang dari Solo ke Yogyakarta hanya butuh waktu kurang dari 60 menit. Kompetisi dalam layanan wisata bisa semakin ketat, siapa cepat dia dapat, siapa murah dia menang!
Membuka akses tol Solo-Yogyakarta memang menghadirkan kemudahan, namun juga tantangan besar bagi pariwisata Yogyakarta. Antara lonjakan kunjungan dan minimnya pengeluaran, antara kemajuan dan ancaman overtourism, butuh strategi jitu agar potensi ini bisa dimaksimalkan tanpa mengorbankan esensi dan kenyamanan kota budaya. Bagaimana menurut Anda? Apakah Yogyakarta siap menghadapi era baru ini? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan sebarkan artikel ini agar lebih banyak yang sadar akan dampak jalan tol ini!









Leave a Comment